Rabu, 22 Oktober 2014

Menyoal Wacana Tertutupnya Pintu Ijtihad

 IJTIHAD DALAM DUNIA ISLAM
   Belum ditemukan data yang pasti tentang pertama kalinya pemberlakuan ijtihad dalam memproduk sebuah keputusan. Tetapi, mengingat ijtihad adalah sebagian besar merupakan kerja akal.

·         ADA BANYAK ALASAN YANG MELATAR BELAKANGI LAHIRNYA ASUMSI INI, YAITU:
1.      Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah, munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi.
2.      Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat. Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia harus terikat tidak boleh pindah madzhab.
3.   Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan membuang-buang waktuRealitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil.
 MENYOAL WACANA TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD

Pendapat Ulama Kontemporer :
1.      Pada dasarnya, wacana penutupan pintu ijtihad memang beralasan. Hanya saja tetap perlu kita pertanyakan. Dr. Abd. Mun’im memaparkan bahwa statement tertutupnya pintu ijtihad sering kita dengar, dan sudah menjalar jauh ke segala penjuru. Baginya, statement ini justeru melahirkan pertanyaan baru, yaitu tentang siapa yang menutupnya. Menurutnya, semua ulama tidak pernah bersepakat melahirkan perintah menutup pintu ijtihad, dan tidak akan pernah berhasil.
2.      Menurut Abd. Al-Wahhab Khallaf, tidak ketahui secara tepat kapan wacana tertutupnya pintu ijtihad dalam hukum Islam dikumandangkan. Yang diketahui hanyalah sebatas bahwa pemikiran dan wacana tersebut merambat pada abad ke-IV H. Menurutnya, wacana tertutupnya pintu ijtihad sama sekali tidak ada dasarnya, baik dari Al-Qur’an maupun al-Sunnah.

 Pendapat Ulama Klasik:
  
  1. Imam ‘Izz al-Din bin Abd al-Salam (w. 660 H.). Dia menolak keras wacana tertutupnya pintu ijtihad. Dia berpendapat bahwa apabila terjadi fenomena yang tidak dieksplesitkan dalam syari’at (nash) atau fenomena tersebut merupakan polemik yang terjadi di antara ulama salaf dan khalaf, sudah semestinya ijtihad dari Al-Qur’an dan al-Sunnah yang dilakukan.
  2. al-Suyuthi (911 H), dengan karyanya, al-Radd ‘ala Man Akhlada ila al-Ard wa Jahila anna al-Ijtihad fi Kulli ‘Asr Fard, demikian pula Al-Syaukani. Dia menegaskan terbukanya pintu ijtihad bagi orang yang berkomptensi. Mereka yang menyatakan tertutupnya pintu ijtihad tidak memiliki sandaran, baik secara ‘aqli, maupun naqli.

·         KESIMPULANNYA ADALAH

  1. تغيرالأحكام بتغير الازمنة والامكنة    
  2. Dari pemaparan singkat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ijtihad merupakan kebutuhan, yakni sebagai upaya penemuan suatu hukum. Apalagi di zaman modern ini, hukum Islam dituntut senantiasa antisipatif, dinamis dan aktif menjawab berbagai persoalan. Tetapi, walau pun ijtihad adakalnya merupakan solusi dan kebutuhan, bukan berarti setiap orang boleh melakukan. Ada wilayah yang menjadi cakupannya, yaitu, pertama: hukum-hukum yang didasarkan pada nash yang qath’i. Kedua: hukum yang sama sekali tidak ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah. dan banyak syarat-syarat lain yang harus dipenuhi untuk menjadi mujtahid.

0 komentar:

Posting Komentar